![]() |
Illustration by Pixabay |
Dimasa pandemi, kegiatan mengajar dialihkan pada kegiatan daring melalui gaway dan perangkat lain. Banyak yang mengeluhkan hal ini, karena efesiensi kegiatan belajar yang kurang optimal. Hal ini tentu kita sadari sebagai resiko dampak covid-19. Sebagai gantinya, masyarakat dan pelajar harus mengerti atas situasi yang tidak memungkinkan untuk berjalan normal.
Kegiatan mengajar yang dilakukan dosen pada mahasiswa mungkin bisa dikatakan berjalan. Kegiatan yang berlangsung cukup lama ini membuat kita merelakanya. Lalu bagaiamana dengan akses pendidikan kita yang belum merata dalam kegiatan pola mengajar baru ini?. Di desa dan kampung yang jauh dari intrik ekonomi yang mapan, gaway dan internet tidak memiliki akses yang baik dimana guru dan para wali juga harus ektra berfikir dalam menjawab tantangan ini.
Kebijakan pemerintah pusat dan daerah telah sepakat bahwa kegiatan belajar tidak dimaksimalkan secara tatap muka. Namun, disisi lain pemerintah daerah abai dengan kondisi yang tidak memungkinkan untuk belajar daring di desa. Hal ini mengakibatkan berhentinya kegiatan belajar yang cukup lama. Dengan alasan ini, sebagian guru di daerah terpencil, harus mengambil inisiatif belajar ke rumah (Door to Door) seperti yang dilakukan oleh Rohmat Adi wibowo di Aceh dan sebagian guru lainya. Di bagian semi perkotaan, guru memanfaatkan group WhatsApp wali murid untuk menjaring komunikasi. Hal ini serupa dengan yang terjadi di desa saya. Untuk siswa kelas satu dan dua SD maupun TK, kegiatan mengajar ini berjalan seperti biasa, hanya saja dalam pelaksanaanya bertempat di rumah seorang guru. Dengan inisiatif ini, kegiatan belajar tetap berjalan, meski menerobos lampu hijau himbauan belajar melalui daring.
Guru dan peserta didik tentu tidak bisa disalahkan. Kegiatan mengajar harus tetap berjalan. Terutama untuk siswa kelas SD yang notabene masih belajar membaca, dan menghitung. Tanpa bimbingan guru, siswa akan sulit belajar membaca untuk jenjang waktu yang lama. Problem struktural lainnya, orang tua siswa juga sering kali menyerahkan sepenuhnya kepada sekolah sebagai instansi yang bertanggung jawab sepenuhnya. Alasan ini mendasar pada budaya perspektif yang keliru. Lalu langkah apa saja, agar kegiatan mengajar di desa berjalan efektif tanpa gaway dan daring?
Pertama, Pemerintah daerah harus memetakan zona daerah covid-19. Jika kegiatan di sebagian desa memiliki zona hijau, baiknya kegiatan mengajar ini tetap dilaksanakan dengan protokol kesehatan. Meski penerapan ini digalakkan, saya masih meyakini kegiatan ini akan berjalan formalitas. Toh aktifitas desa dan wilayah lain masih berjalan seperti biasa. Kedua, Peran guru sebagai Pioneer harus memberikan masukan dan pengertian kepada wali murid, terutama siswa SD untuk belajar di rumah dengan cara mandiri dan diajarkan oleh orang tua masing-masing untuk belajar mengeja, membaca dan menghitung.
Kiranya, pemerintah atas kebijakan kegiatan belajar daring ini, nyatanya masih sulit untuk diterapkan disebagian tempat. Tentu tugas pemerintah harus memberikan solusi agar tidak meninggalkan tanggung jawab. Di sebagian wilayah yang cukup mapan dan ekonomi menengah keatas, hal ini bisa dilakukan. Namun, bagaimana dengan desa yang jauh dari pusat perhatian?
إرسال تعليق