Ditengah problem covid-19 yang tidak berujung. Ada pola interkasi masyarakat kita yang berubah. Teknologi memberikan fasilitas dalam menunjang problem yang kita hadapi saat ini, yaitu menjaga jarak dan meminimalisir kerumunan. Pola interkasi ini dimanfaatkan untuk menunjang keberlangsungan bermacam kegiatan, seperti kegiatan mengajar hingga seminar online yang terkenal dengan webinar.
Webinar yang seringkali kita temui jaring media social seperti group whathsap, dan media social lainya memberikan alternative mudah untuk menimba ilmu dan memperluas wawasan. Kegiatan ini biasanya diselenggarakan oleh berabagi institusi, terutama tingkat pendidikan Universitas. Hal demikian selain memberikan wadah alternative dalam mencari ilmu, sekaligus sebagai wahana berburu sertifikat.
Beberpa hari ini, saya pun menjadi salah satu dari peserta webinar yang diselenggarakan oleh Univeritas Widya Mataram yang bertajuk “ Academic Writing”. Tentu alasan utama mengikuti kegiatan tersebut untuk mendapatkan wawasan tentang menulis ilmiah. Selain itu, sertifikat menjadi alasan berikutnya. Webinar yang diselanggaran Fakultas Hukum ini memberikan sedikitnya gambaran tentang penelitian dan problem minimnya peneliti di Indonesia. Namun, di beberapa kesempatan lain, saya tidak bisa menyimak ulasan dengan baik lantaran akses jaringan yang buruk. Tanpa saya mengikuti kegiatan tersebut pun, saya rasa, saya sudah berhak mendapatkan sertifikat, karena telah mengisi formulir diawal pendaftaran.
Disisi lian, Kesuksesan kegiatan Webinar diukur dari banyak partispasi peserta. Sertifikat online yang ditawarkan menjadi magnet tersendiri bagi peserta. Peserta dengan mudah mendapatkan sertifikat gratis untuk menunjang tuntutan pekerjaan dan pendidikan untuk jenjang yang lebih tinggi. Tanpa dipungkiri, bahwa selembar kertas dan bukti sertifikat di negeri kita merupakan syarat dokumentasi dan tuntutan instusi pekerjaan hingga kenaikan pangkat.
Problem Pendidikan
Sejak dini, problem angka nominal disadari sebagi tolak ukur dari kecerdasan dan kesuksesan. Tidak heran jika tuntutan memasuki dunia kerja menggunakan standar IPK 2,7 sebagai syarat standar kulifikasi. Nilai kualitas dalam mengukur sesuatu ini telah menjadi pola pendidikan kita hingga kuartal sekolah tinggi. Hal demikian selain menyempitkan manusia sebagai mahluk yang multidimensional kecerdasanya, juga menunggalkan standar yang manusia.
Kita tidak bisa mengelak bahwa berburu sertifikat disaat pandemi merupakan kesempatan untuk memenuhi standar berbagai tuntutan. Banyaknya kegiatan webinar membuat peserta antusias dan berlomba-lomba dalam mengoleksi sertifikat, dengan bermodalkan paket quota dan duduk manis, peserta bisa menyimak paparan materi yang disampaikan. Alih-alih bisa mendengarkan dengan baik dan mempraktikan ilmu disampaikan. Terkadang hal ini luput dari kaca mata perhatian.
- Baca Juga :Ruang Guru dalam Tradisi keilmuan Kita
Praktik kegiatan seperti ini, merupakan tradisi yang telah dibangun di instutusi pendidikan. Tujuan webinar dan workshop hadir sebagai kegiatan postif untuk kebaikan generasi bangsa. Dibalik itu tuntutan organisasi, persyaratan sidang kuliah, hingga kenaikan pangkat memerlukan dokumentasi berupa bukti nyata selembar sertifikat.
Namun, ada kegelisahan sendiri bagi penulis. Kegiatan tersebut, sekaligus menegaskan disorientasi pada pendidikan kita. Terutama dalam memahami konsep tujuan mencerdaskan bangsa. Ini menjadi semacam menamakan psikologi masyarakat kita, bahwa standarisasi baku dunia pendidikan hingga pekerjaan tidak bisa dielakan dari selembar kertas. Mengutip apa yang di ucapkan Rock Garung, bahwa "ijazah bertanda seseorang pernah sekolah, bukan berfikir". Akibatrnya panjang ini. penghargaan manusia tidak lagi disadari oleh budi pekerti melainkan tolak ukur nominal prodak budaya pendidikan kita.
Ini menjadi semacam menamakan psikologi masyarakat kita, bahwa standarisasi baku dunia pendidikan hingga pekerjaan tidak bisa dielakan dari selembar kertas.
Rock Garung, bahwa "ijazah bertanda seseorang pernah sekolah, bukan berfikir"
إرسال تعليق