Korupsi sebagai Problem Budaya Struktural

Illustrasi korupsi. Keserakahan penjabat pemerintah


Pasca semangat reformasi tahun 1998 melahirkan lima tuntutan, dua antaranya supermasi hukum dan pemberantansan Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang sudah menjadi budaya mengakar di tubuh pemerintahan otoritarianisme. Semangat melawan korupsi itu dijewantahkan dalam pembentukan badan hukum khusus menangani Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi. KPK berwenang bebas untuk menyelidiki, menyadap hingga tuntutan tindak pidana. Hak istimewa ini tidak secara bersih menuntaskan pelaku korupsi di tubuh pemerintahan kita. Justru melahirkan skema pelemahan yang dilayangkan diberbagai sudut. Alasan utama ini, umumnya penjabat kita masih mempertahankan status quo (Kebiasaan lama) ditubuh birokrasi pemerintahan yang menarik ulur antara kepentingan kelompok dan kepentingan nasional. Dilain sisi krisis multidimensional akibat korupsi masih cukup kita rasakan.


Alasan korupsi ini, umumnya penjabat kita masih mempertahankan status quo (Kebiasaan lama) ditubuh birokrasi pemerintahan yang menarik ulur antara kepentingan kelompok dan kepentingan nasional.



Problem korupsi setidaknya menghancurkan tatanan yang berakibat pada rusaknya lingkungan dan mempersendat lajunya kesejahteraan. Namun, seringkali masyarakat bawah tidak begitu memahami dampak dari tindakan luar biasa ini (Ekstra Ordinary Crime). Karena pelaku korupsi melibatkan beberapa pihak dan instansi. Berupa Kegiatan pembagian jabatan, pembagian proyek, menyeludupkan uang negara yang dalam tindakannya terselubung dan terorganisir. Sehingga proses dari tindakan korupsi ini hanya berlaku bagi seseorang yang mempunyai akses jabatan. Berbeda rasa pada dampak yang dilakukan kelas menengah bawah. Tindakan kriminal ini hanya melibatkan beberapa pihak saja yang tidak menimbulkan efek nasional.


Pesimistis merubah budaya Korupsi

Problem korupsi bukan hal yang mudah untuk diatasi. Badan hukum khusus seperti KPK tidak mampu menuntas bersih tindakan ini. Hanya saja kehadiran KPK mampu menyelematkan sebagian harta negara. Korupsi di negeri kita bukan lagi sebagai problem personal, melainkan struktural ditubuh pemerintah. Tidak aneh, jaminan demokrasi menjadi penjabat negara perlu ongkos yang banyak, seperti menjadi calon DPR. Logikanya ongkos demokrasi akibat modal yang ditanam adalah untuk mengambil keuntungan yang lebih besar. Pekerjaan menjadi wakil rakyat ini menjadi kesempatan untuk memperkaya diri. Lebih-lebih sebagai profesi pekerjaan tanpa melibatkan kepentingan rakyat. Buktinya, sebagian pemangku kebijakan pusat hingga daerah tidak mampu dinikmati oleh kelompok masyarakat kecil.


Logikanya ongkos demokrasi akibat modal yang ditanam adalah untuk mengambil keuntungan yang lebih besar. 


Problem kesejahteraan yang diidam-idamkan sepertinya menjadi hal utopis ditengah kekayaan alam kita yang berlimpah, mustahil untuk dimanfaatkan dengan baik tanpa karakter pemerintah yang baik. Tindakan preventif korupsi melalui badan hukum dan birokrasi nyatanya tidak memberikan efek signifikan. Selama skema birokrasi pemerintah berorientasi pada kekayaan pribadi, korupsi ini tidak bisa dilepaskan dari wataknya. Sekalipun saya dan anda berada dilingkungan budaya korupsi, tidak menjamin kemungkinan akan terbebas dengan hal demikian. Tanpa idealisme yang kokoh dan pribadi yang matang. Pantasnya jalan menjadi penjabat negara (DPR) bukan jalan yang baik.


Solusi

Niai sila kemanusiaan yang adil dan beradab merupakan watak dan nilai yang kita miliki melalui rumus Pancasila. Hendaknya nilai ini menjadi nafas dan orientasi sebagi manusia dan warga negara yang baik. Penjawantahan ini seharusnya telah menjadi teladan ditubuh pemerintahan, tanpa terkecuali. Nurani sebagi simbol keberadaan manusia tumbuh di sela birokrasi apa saja. Tanpa jiwa nasionalisme ini dan kesadaran untuk melakukan tindakan tercela mampu terobati. Korupsi adalah penyakit hati skala besar. Ia melibatkan orang, jaringan dan instansi diluar. Jaringan kolektif yang mengakar ini semacam gurita yang sulit ditangkap pelakunya. Korupsi ini bisa berhenti dengan merubah gaya birokrasi politik lama (otoritarian) didalamnya. Kedua, Supermasi hukum tanpa intervensi pihak manapun, Ketiga. Peran KPK yang bebas menjalankan kinerjanya. Kelima, Tubuh pemerintah khususnya wakil rakyat dengan menjaring jiwa politik nasionalisme tanpa menyuburkan money politic. Terkhir melibatkan hati nurani sebagai sifat manusia yang terpuji.

Sulit kiranya menempuh langkah tersebut tanpa menciptakan orang-orang baru. Kenyataan ini memang harus kita terima dengan lapang dada. Sebagai rakyat yang baik yang mempunyai jiwa optimisme. Keyakinan demikian setidaknya memberikan perasaan lega

12 تعليقات

  1. Kalo mafia-mafian korupsi sudah mengakar di Indonesia, memang agak sulit di berantas, walaupun bisa diberantas maka akan diserang balik oleh oknum2 korupsi dengan cara Isu atau berita bohong agar sipemberantas bisa hancur.

    ردحذف
  2. Hukuman di Indonesia mah masih kurang kuat :3

    Hukum dijualbelikan. Coba hukumannya itu bikin jera, kek hukuman mati. Atau gak diasingkan, semacam penjara di tengah pulau terpencil. Atau penjara bawah tanah. Ada efek menekan psikologis seseorang, jadi kalo mau korup mikir dua kali karna "Kengerian hukum". Sayang paradigma sekarang, hukum mah sepele, ada uang abang disayang wkwkwkwk

    ردحذف
    الردود
    1. Kalo di Indonesia di hukum mati. Penjabat DPR tinggal dihitung jari.

      حذف
  3. Kalau di Arab kek nya hilang tu nyawa,wkwkwk

    ردحذف
  4. korupsi itu emang udah kayak budayanya Indo yaa.. Orang korupsi emang mesti orang pinter yang rakus, korupsi mesti juga kongsi kongsi sama yang lain, mustahil kalo korupsi sendirian. kalo sendirian ya mesti gampang kena.. maka udah pasti korupnya itu berkelompok, saling melindungi dan menutupi, makanya korupnya ga selesai selesai

    ردحذف
  5. Ada sedikit kaum yg kebal hukum di Indonesia. Padahal jelas nyata golongan itu melanggar hukum...

    Kelak itu semua menjadi tanggung jawab pejabat pemerintah

    ردحذف
  6. Saya rasa budaya korupsi memang sudah mengakar kuat dalam masyarakat, khususnya berawal dari ketidakjujuran. Bahkan, dari artikel "Jujur malah Ajur" yg tayang di Kompas, kasus seorang Ibu yang membela anaknya krn jujur, malah diusir dr desanya sebab menolak memberi contekan.
    Sempat gusar krn berita juga perkataan mereka, "Sudah biasa contek-menyontek itu. Gimana mau lulus kalau caranya begitu"
    Penerapan solusi saya rasa yang terbaik adalah dari penerapan karakter dan perombakan tata sosial yg ada dalam masyarakat itu sendiri.
    .
    .
    .
    Hanya sharing. Artikelnya bagus, buat saya berkobar, hehe

    ردحذف
    الردود
    1. Nah seperti itulah. Tidak jauh dalam birokrasi pemerintahan. Yang benar akan dikucilkan dan diusir. Bahkan yang jujur kadang jadi korban tersangka

      حذف
  7. kok masih ada ya tikus-tikus berdasi di pemerintahan di indonesia, saya ikut prihatin

    ردحذف
  8. Korupsi terjadi bukan saja karena ada niat si pelaku tetapi juga karena kar kesempatan.
    Cara memberantasnya adalah dengan melipatkan gandakan hukumannya sebgai efek jera.

    ردحذف
  9. Korupsi bisa dilakukan dari banyak faktor, kalau dari oom saya. Dia kan polisi tuh, demi bisa lulus banyak org yang mau di sogok, sehingga bila ia telah lulus hasil tahanan nya bebas mau di apain, seperti mobil hasil curi, itu salah satu bentuk korupsi yang susah di tuntut. .

    ردحذف

إرسال تعليق

أحدث أقدم