Sebuah Pemerintahan, yang hanya melindungi kepentingan bisnis saja, tak lebih dari sekedar cangkang. Dan segera runtuh sendiri oleh korupsi dan pembusukan” (Amos Bronson Alcott)
Disahkanya RUU Minerba menjadi UU Minerba (Mineral dan batubara) no 24 tahun 2004 yang baru diberlakukan di Indonesia per- 12 jaunuari 2014 menuai kencaman dari berbagai pihak, Hal ini dikarenakan pasal tersebut dinilai tidak memenuhi hak-hak rakyat.
Adanya penambahan dan pengahapusan pasal yang dinilai hanya berpihak kepada elit pemerintah dimana RUU Minerba ini hanya ditempuh tiga bulan per Februari dan disahkan pada 12 Mei 2020 oleh DPR ditengah situasi pandemik. Dampak dari disahkanya UU ini bukan saja mejamin dan mempermudah investor yang berpihak pada elit tertentu melainkan juga berdampak pada krisis lingkungan, tidak terjaminya hak-hak warga dalam keamanan. dihitung korban yang meninggal 114 pertahun 2014 sampai 2019 menurut catatan Jatam (Jaringan Advokasi tambang). Pasal-pasal RUU Minerba yang bermasalah antara lain; pasal yang mengatur bahwa penguasaan mineral dan batubara diselenggarakan oleh pemerintah pusat tercantum dalam pasal 4 ayat 2. Artinya UU penambahan ini pengaturan terkait kewenagan perizinan tidak lagi atas kewenagan otonomi daerah, melainkan di pegang oleh pusat. Hal ini dinilai bertentangan dengan semangat otonomi daerah.
Kemudian dalam pasal 42 dan 42A bahwa jangka waktu ekplorasi lebih lama dari UU sebelumnya, yakni 8 tahun dan dapat diperpanjang satu tahun setiap kali perpanjangan, pasal ini dinilai mempermudah pengusaha pertambangan mineral dan batubara dalam menguasai lahan. Setidaknya ada 10 pasal yang bermasalah dalam UU tersebut. [1] wajar saja jika aliasi banyak yang menolak atas disahkanya UU ini, seperti Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), WALHI Nasional, dan Auriga Nusantara. Di sahkanya UU Minerba sangat tidak transaparan dan dinilai terburu-buru, ditambah lagi rapat pembahasan serta sinkronisasi RUU ini dilakukan terturtup, selama 4,5 jam. Dan hanya 17 anggota DPR yang hadir[2] sebuah pertanyaan besar bahwa dari pasal pasal yang bermasalah ini hanya diperuntukan untuk Korporasi tanpa melibatkan rakyat kecil dengan tidak adanya klausal yang menempatkan warga sebagai subjek yang berdaulat menentukan tanah mereka sendiri[3].
Paska runtuhnya otoritariarisme orde baru membawa iklim demokrasi dimana masyrakat terjebak pada eforia sesaat dan lupa bahwa kekuatan oligarki tidak lenyap dari orde baru. Istilah oligarki telah memasuki ruang lingkup demokrasi, dimana antara kekuasaan dan peran matrialisme selalu bergandeng tangan. Istilah oligarki demokrasi menurut Yuki Fukoka[4] ialah ; suatu tatanan demokrasi di mana pertarungan politik didominasi oleh koalisi kepentingan yang predatoris serta mendorong peminggiran kekuatan masyarakat sipil. Hingga saat ini kekuatan oligarki memliki iklim dan memasuki sector pemerintahan seperti media masa hingga ikut campur tangan dengan kontestasi pilkada hinga pemilu.
Proses reformasi terjadi didalam apratur Negara yang masih didominasi oleh hubungan kekuasaan. Faktanya bahwa hubungan antara Negara merupakan pemainn lama yang menempati posisi strategis di berbagai partai politik dan institusi public dan merupakan sirkulasi elit-elit lama yang selalu berotasi di dalam lingkar kekuasaan oligarki. Misalnya ialah kasus Perampasan Tanah seringkali terjadi dan selalu menjadi sebuah kepentingan politik yang melibatkan dua actor bisnis dan pemerintah.
Pemerintah sebagai alat bagi kekuatan korporasi untuk merealisasikan kepentingan bisnis. Karena dalam hal ini Negara mempunyai keterlibatan yang cukup signifikan. Seringkali kasus perampasan tanah dan tercantumnya UU minerba merupakan kedok dari aktualisasi program khusus yang diyakini untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. Hal demikian juga tidak bisa diabaikan bahwa perubahan politik pasca orde baru tentang penerapan kebijakan disentralisasi merujuk kepada kekuatan oligarki.
Meminjam kata Robinson hadiz[5] ; ia berfokus pada suatu system realisasi kekuasaan yang memungkinkan konsentrasi kekayaan dan menguatnya hubungan antara Negara dan kaum borjuis yang ditandai oleh perpaduan akumulasi kekayaan dan kekuasaan politik.[6] Politik oligarki tidak hanya diruang lingkup perampasan tanah. Selagi uang menjadi primaadona kekuasaan bisa dimanipulasi dan disetir oleh segelintir demi kepentingan perorang[7]. UU minerba yang telah disahkan yang menuai permasalahan merupakan tangan panjang dari kepentingan lingkaran elit oligarki ditubuh pemerintahan yang merupakan pemain lama dari kontestasi politik dua kubu tahun lalu.
إرسال تعليق