![]() |
Sosok Mbah Jum yang demrawan |
Perkembangan Teknologi informasi
semakin cepat mengalir, bahkan tak lagi mempunyai batas. Informasi yang kita
serat setiap hari melalui sosial media sangat berpangaruh potensial terhadap
gaya kehidupan dan realitas kemanusiaan saat ini. Memasuki era industri 4.0,
semua program dan kehidupanpun diatur oleh fitur canggih yang tergenggam
ditangan, melalui Semartphone, kita mampu menjadi raja yang dilayani dalam
kegiatan sehari-hari, dari penyediaan Gofood atau sekedar belanja cepat melalui
akad digital. Semua itu berkat perkembangan industri 4.0.
Saya belajar dari seorang Mbah Jum
yang berasal dari kasian Bantul Yogyakarta, ia seorang wanita yang sudah lanjut
usia. Saya mengetahui informasi ini malalui media sosial. Tage line dalam berita itu pun cukup menarik "Mbah Jum. Penduduk Bumi yang bikin iri para
bidadari". Ia seorang tunanetra yang berjualan tempe disebuah pasar,
dalam rutinitas saat melayani mbah Jum selalu melantunkan sholawat. Mbah Jum
selalu pulang lebih awaul dari pedagang lanya, setiap kali selelsai beliau
menghitung keuntungan yang ia dapat dengan dibantu cucunya. Modal awal yang
dikeluarkan mbah Jum adalah dua puluh rib rupiah, dan keuntungan yang didapat kisaran lima ribu rupiah.Hebatnya, jika melibihi
lima puluh ribu rupaih mbah jum akan menyisihkan keuntunganya kedalalam kotak
masjid. Pernah tujuh puluh ribu, bahkan melebihi 300 ribu rupiah. Keuntungan
yang ia dapatakan selalu sisihkan kedalam kotak amal masjid. Tidak hanya itu,
ia juga menyedekahkan semua hasil uang yang didapat dari hasil pijat bayi,
hingga pria dewasa. kedermawaan dalam kesederhanaan ini membuat anak dan 5
cucunya mampu mengahfal beberapa juz al-quran, tak terkecuali mbah Jum sendiri. Ia
merupakan sosok wanita Rabiatul adawiyah era modern, yang membuangkan kotoran
ambisi ke- dunianya. Sisi kemanusiaan yang ia miliki memang tidak diperoleh
sekolah formal maupun seminar akadmis melainkan dari kejernihan hati dan
kepatuhanya pada agamanya. Memang, menjadi saleh
tak harus berada di mimbar-mibar masjid atau berpakain sorban dan gamis hitam
menjulur. agak genit saya mengutip ucapan Gusmus sebagai ke-salehan sosial, yang juga pantas diberikan kepada tukang parkir atau pedagang
kecil yang jujur dan adil. Barangkali masih banyak sisi kemanusiaan dan mbah
Jum lainya yang tak terekspos.
Realitas Kemanusiaan.
Manusia terikat oleh materi, tujuan
dan orientasi dunia yang membuatnya buta. sekolah bukan menjadi jaminan untuk
menjadi manusia. Bahkan ironis sebagai jalan matrialisme dan libido kepuasaan sesaat. menjadi kelas
sosial baru dalam sekat-sekat budaya feodal-kapitalistik. Agama yang
dipertuhankan dan ambisi ego yang diperdewakan. Menurut Sigmund Freud manusia
memiliki id, ego dan superego dalam kesadaranya. dimana Id adalah sifat insting, driver dan implus yang menuntut hidup tanpa
norma sosial (plesure prinsiple),
sedangkan ego-adalah realitas yang memiliki batasan norma tertentu. dalam
tatanan masyrakat sosial, selain manusia mampu memuaskan kesenagan pribadi,
lainpula ia harus pandai membaca realitas dan batasan norma yang berlaku.
tujuanya ia mengertti proses akal berfikir. dan kemanusiaan adalah tentang
nilai welas-asih yang hampir tersingkirkan oleh dominasi Id.
Memasuki era dua ribuan, gejala
virus dunia gital dominan mengatur cara pandang, pola hidup, orientasi
masyrakat kita. Dimana perkembangan sosial diberikan ruang dan fasilitas. Hal
itu menjadikan manusia berfikir taktis dan pragmatis. bahkan nalar kemanusiaan
kian merosot. Infomarasi yang sulit difilter membunuh karakteriik remaja yang
menjadi sungkan mengeluh dan rapuh mentalitasnya. tidak salah bahwa amunisi
ahlak dan akidah hanya diajarkan dibangku sekolah dasar, dan justru pincang
didunia kampus. Rupanya problem ini terjadi bukan hanya dari internal manusia,
namun fasiltas, juga faktor sosio-budaya
ikut andil didalamnya.
Interaksi sosial kita saat ini
memiliki dimensi yang berbeda, realitas nyata dan dunia visual. Menjadi saleh artinya juga mampu menjadi manusia
didunia visual. informasi dan kegiatan antara keluarga, persahabatan,
organisasi, klien, di group Medsos adalah wadah interaksi sosial juga. Kita
mampu belajar dari realitas kecil saat ini, tak perlu menjadi mbah jum yang
baik hati atau menjadi sufi yang mengasingkan diri. Belajar cara mengahargai lawan
bicara saat asik mengenggam HP, atau welas-asih saat asik bicara asmara,
mungkin sekedar mengapresiasi feed
Intagram teman kita. Ke-salehan tak
meski harus jalan menuju kebelakang, melewati batas padang pasir yang tandus. cukup
banggakan dan sanjung foto ia di kolom komentar instagram adalah bagian dari salih soscial.
إرسال تعليق