Gadis periang itu bernama Ami Fitrianis, seorang gadis perantau yang menjadi mahasiswa islam Negri di Jakarta adalah salah satu sahabat yang unik. Sifatnya yang kegaduhan berisik menjadi ciri si gadis manis ini. Mahasiwa yang beranjak semester empat ini sangat sibuk dengan aktifitasnya sebagai seorang jurnalis, aktifis Himpunan juga pandai dalam bergaul. Dia bisa menempatkan posisinya dimana saja, ketika berhadapan dengan orang yang serius. Dia akan menjadi gadis misterius yang siap menyapa meladeni perbincangan yang serius, ketika berhadapan dengan sorang yang lucu. Dia akan berubah melebihi temanya. Selayaknya bunglon bisa hidup dimana saja, apapaun tempatnya. Disitu lah kehidupanya. Kehidupan yang penuh sendau gurau,lucu, misterius, dan terkadang ambisius.
Hari - harinya selalu disibukan dengan
perkumpulan, entah perkumpulan organisasinya, kesibukan pribadinya higga
kesibukan bermain. hampir setiap hari kampus dan temanya adalah kehidupan sepanjang
harinya. Paginya menyiapakan perlkuliah hingga larut malam dia selalu pulang,
dengan cerita unik barunya. Teman
bermin, teman aktifis, maupun teman nonton. Berbeda pula temanya. Minggu ini
dekat dengan ini, mingu besok sudah menggadeng teman lain.tak terkecuai para
cowo, mulai dari seumuran hingga yang
lebih tua, bahkan bapak bapak yang mempunyai istri menjadi teman sandau
guraunya. Dimanapun dia pergi disitulah sahabat menyapanya.dengan sapaan yang
berbeda pula, tergantung apa watak temanya.
Sifatnya
yang kadang nyentrik, membuat temanya nempel tak terkecuali aku. Sosok asik
saat berbincang membuat aku betah dan nyaman ketika berjumpa denganya. Sosok
apa adanya, gak muluk muluk, pakaian dan tasnya yang gaul bertuliskan Woles
menjadi sesosok gadis berbeda dari kebanyakan pada umumnya. Jika orang lain
gengsi ketika bertemu temanya, bahkan dia menunjukan apa adanya. Hp yang
dipegangnyapun tidak menunjukan wanita yang eksis berselfie. Kemera hp nya pun
sperti layar hitam putih tak seubahnya Tv 14in tahun tujuh puluan. Dia tidak
akan membeli hp bagus sebelum priotas yang lebih penting darinya tersalurkan
ungkapnya. saya pun tidak tau siapa cowo yang disukainya, apakah dia akan
memperlakukan cowo yang disukainya seperti
memberlakukan temanya. Entahlah…
Malam
itu, hujan hampir reda masih mengguyur rintikan hujan, bulan sedikit menerangi
kota ciputat, angin bersahabat dengan
suasan sekitar kampus yang masih ramai oleh jajanan ringan, pedagang
bakso, soto, serta café tempat nongkrong anak muda masih terlihat ramai, asap
sate disertai aroma merangi terhirup dari kejauhan, masih dengan ketidak pastian
melangkah yang tanpa arah tujuan. Jalan setapak kita lewati di pinggiran
trotoar jalan, mencari tempat untuk hanya sekedar ngobrol bebincang bincang. Memang
pada malam itu tujuan utama kami berdua mengulur waktu hingga pukul 10 malam,
menunggu teman saya yang kebetulan sedang keluar dengan temanya seharian ini. Tanpa
dia saya tidak bisa bermalam. Sudah dua hari ini aku bermalam di kota ciputat. Menunggu
kapan tiba waktu yang tepat untuk kembali kerumah, maklum masih suasan liburan.
Kami berdua memutuskan untuk makan sate dipinggir jalan. Suasan yang seperti
ini yang kami sukai. Sambil melihat dari kejauhan, terlihat kesibukan kota dengan mobil dan motor yang bersliweran. Sambil
menunggu dan menyantapnya. Kami berbincang masalah nostalgia dengan tempat
sekolah kami dua tahun silam.
Siang
tadi saat saya berada di kosnya, saya
masih ingat ketika ia memutar film documenter sekolah kami, seolah kita
melayang melewati batas ruang menuju kembali saat menjadi santri dulu. Film berdurasi
hanya beberapa menit memunculkan adegan lucu, saat santri akhir kelas membuat
sebuah film pendek sebagai salah satu bentuk kenangan ketika lulus nanti. Sebagi
film hasil pemuas rindu dan saat inilah kita berada dititik tersebut. Mengenang
dan menceritakan hal demikian. Dalm film tersebut seorang ami lah yang paling
sering memuncullkan adegan acting ala santri
wati, menjadi wanita protagonist dan kadang berubah menjadi wanita antagonis. Bukan
sebuah film gendre romantic, melainkan film comedi kelucuan santri saat masa
akhir pesantren, mengikuti acara Tv Sketsa yang dulu ramai. Siang itu dia ketawa
lepas menertawai dirinya yang begitu aneh, aku pun ikut tertawa berusaha mengimbanginya. Sebenarnya aku
mengenalnya sudah lama ketika dia masih kelas 2 MA di pesntren, namun ketika
lulus kami baru saling mengenalnya. dikarnakan ada orang ketiga yang
mengenalkan ku dengangnya. Selama di pesantren aku tau persis dia adalah salah
satu santri yang kerap kali terlihat. Menjadi pembantu ustadz
dalam menyelesaikan dokumen dokumen pesantren, menjadikan ku hafal dengan
wajahnya. Tidak hanya sebagai pembantu ustaz diapun pintar dalam berbahasa,
yang kemudian si gadis manis ini menjadi divisi Bahasa ketikan nyantri. Buktinya
si gadis perantau pun pernah menjadi Mc saat acara Pekan olahraga dan seni
dengan bahasa ingrisnya yang terbilang tak kalah bagus dengan aslinya.
Malam
ini pukul sudah jam setengah sepuluh, kita masih bingung mau kemana pergi
setelah ini, tidak mungkin saya kembali ke kosanya wanita malam malam, karena
aku sadar itu tudak baik, meski disana terlihat bebas. Kita memutuskan untuk ke
kampus menunggu waktu hingga sampai teman saya kembali menjemput. Mencari sekedar
wifi untuk bisa lebih lama menunggu.
Selama
berjalan saya masih ingat pertama kali kita berjumpa diciputat, seperti di
film- film kami berbincang di hp gengam, menentukan tempat janjian untuk
bertemu. Hingga diantara kita bersebrangan tanpa sadar saya dan dia telah
melewati tempat janjian saat itu. Senang ya senang, namun kepercayaan diri
masih belum seutuhnya, antara malu dan rindu. Pertemuan ini memang sudah saya
rencenakan ketika liburan nanti, salah satunya ada rasa bersalah, ketika dia ke
jogja, saya kehilangan kontak, sehingga ada rasa bersalah ketika dia jauh jauh
dari Jakarta tanpa penyambutan yang hangat ketika beberapa bulan lalu. Hari itu
masih sama dengan kebingungan dan tanpa tujuan yang pasti, kemana kah kita
melangkah, hingga memutuskan untuk mengajaknya menonton di salah satu Mall di
daerah ciputat. Tanpa motor kita melangkah menunggu angkot ketempat tujuan,
selayak sepasang adik kaka, selama di angkot ami bercerita tentang kegiatan beberapa
pecan yang lalu, menjanjahi kota Jakarta selama bebera hari untuk mencari data
tetang kecendrungan warga Jakarta dalam memilih calon gubernur baru nanti.
Layar lebar memunculkan cahaya
memancarkan adegan sandawira dilayar persegi empat di depan kami. Sebuh film
bergendre realiguis yang menceritakan seorang anak yang ditugas kan dari
seorang gurunya ketika liburan, sang gadis cilik memiliki ambsius yang tinggi untuk
menjelaskan bahwa planet Pluto bukanlah sebuah planet. Dengan di bumbuhi nilai
agama dan problem yang menyertai film tersebut, namun sayang film yang
berdurasi tersebut telah terbaca jelas alur ceritanya. Seorang ami bak seobagai
tour guide menceritakan alur cerita dibalik layar, sehingga film yang kita
tonton tidak terlalu berkesan dan cukup membosankan.
Jam
menunjukan pukul 10 malam itu, aku dan ami sudah berada di salah satu pojok
kampus,,menunggu kedatangan diaz ini yang sudah sore tadi di sudah kami hubungi,
namun tak da jawaban, angin berirama merasuk keheningan malam, mata yang sudah
mulai sayup memaksakan diri menunggu ketidakpastian. Andni, nama panggilan
akrabnya, dia datang dari kosanya menuju gerbang kampus, yang sebelumnya sudah
aku chatt untuk menemuiku memberikan inapan kosanya yang kosongnya untuk ku. Setelah
perbincangan kami bertiga, menambah cerita babak baru, masih dengan karakter
seorang ami, yang tanpa henti terus bergurau. Apapun yang terlintas bisa jadi
bahan yang menarik untuk didiskusikan. Motor
melaju diterpa hempasan angin dan suara motor melaju dengan suara khas motor
metic. Berjalan melewati hanya beberapa gang untuk sampai di kosan andini. Setibanya
disana hal layaknya seorang teman, tanpa hidangan tertentu hanya segelas air.
kami kembali tertawa riang, bergombal. Dan apapun yang kami ceritakan. Merupakan
kesan baik untuk diabadikan dalam
kenangan. Selang bebrapa suara motor dari kejauhan terdengar yang telah
kuyakini ini adalah suara yang kukenal. Diaz menyapa dari luar. Rupanya dia tau
bahwa kami disini. Bergegas hanya sedikit basa basi. Kami berpamatian pulang. Rupanya
diaz sejak tadi sengaja mengabaikan pesan yang masuk.
Sahabat
tidak lagi memandang diri kita siapa. Kita tidak pernah mendeklarasikan diri
kita sebagai sahabat. Ketika ada rasa kepedulian dan keselarasan dalam bersikaf.
Disitulah perubahan pola sikaf menjadi sahabat. Dua hari bersama si gadis perantau
meninggalkan kenangan menarik untuk
disajikan dalam buah tulisan. Banyak cerita dibalik film berjudul “Iqro” yang tidak lepas dari seorang bapak tua
yang diam - daim memotret ami ketika makan, tantangan menonton film tersedih,
yang kemudian saya sendiri tak sedih sedikitpun. Atau seorang ami sering memanggilku
dengan panggilan si ipul, entah apa motifasinya. Hingga yang paling unik dia memperkenalkanku
kepada teman- teman sebagai adik kandungnya. Yang pada akhirnya kami layaknya
seorang pemain karakter. Yang bersandiwara
selayaknya actor pofisional. Kata salam dan sapa memisahkan kita untuk beberapa
saat nanti. Semoga kita bertemu lagi ami….
Motor melaju cepat menyelip
mobil, dengan kecepatan tinggi, kitapun akhirnya sampai di tujuan. Kos bertingkat mewah dan elok itu memanggilku agar bergegas beristirahat.
إرسال تعليق