“Apa
gunanya Ilmu kalau tidak memperluas jiwa seseorang sehingga ia berlaku seperti
samudra yang menampung sampah- sampah? Apa gunanya kepandaian kalau tidak
memperbesar kepribadian manusia sehingga ia makin sanggup memahami orang lain?”
( Emha Ainun Najib
Perbedaan menjadi sunnatullah
dalam kehidupan, tak terkecauli perbedaan dalam pemahaman agama, rasa
sensitifitas atas nama agama kerap kali muncul dari lini masa. Landasan berfikir
yang berbeda dalam mempelajari ilmu agama perlu disadari. Oleh sebab itu Ilmu Agama seharusnya tidak difahami dalam bentuk
yang tunggal, sehingga tidak mudah
menyalahkan pemahaman yang tak sejalan denganya.
Agama mengajarkan
kita untuk tidak marah, namun kerap kali atas nama agama kita mudah untuk
marah. Humanisme, kasih sayang serta perdamaian antara sesama dibenturkan atas nama satu pemahaman tunggal dan kebenaran sudah hanya milik siapa bukan apa. Otoritas tuhan dalam menentukan benar dan
salah, seringkali direnggut oleh penganutnya, yang memutlakan kebenaran dan menabsoltkan kesalahan.
Umat
muslim kita berada dimana taqlid semakin membebek dan membabi buta, ajaran
agama berada di bawah otoritas peran ulama. Ulama menjadi jalan satu- satunya
sebagai petunjuk untuk membenarkan dan berhak menyalahkan. Ulama sering pula
terdikotomi oleh faham yang bersebrangan. Tentu dengan pola latar sosial historisnya yang
berbeda.
sering kita sebut sebgai faham islam kafaah dan Islam moderat. Tak
pula para pengikut ulama yang berbondong- bondong mendeklarasikan sebagai
pengikutnya. Tidak salah jika taqlid merupakan sandaran bagi orang yang
awam dalam ketidak tahuan beragama. Namun
kesalahanya fatalnya ketika ketidak pemahaman
(taqlid) tampil dan ikut menyuarakan pemahaman ilmu agamanya ke ruang publik. Sehingga terjadi
gesekan antara pemahaman yang bersebrangan darinya. Disnilah muncul
ketidakharmonisan dan saling tuduh atas nama kebenaran dalam ketidakfahaman
ilmu agama yang mendalam.
Peran media cukup signifikan memainkan peranya dalam
kultur hari ini. Ilmu agama yang sangat mudah
ditemukan, tak perlu dengan mengkajinya dengan kitab- kitab agama. Ilmu tasauf,
fiqih dan sebagainya. Cukup dengan jargon media yang berbau sedikit tentang islam
adalah mutlak kebenaran. tak lagi peduli dengan pehaman dan sumber dari sesuatu diambilnya. Seperti halnya makan
tanpa mengunyahnya. Egoisme dari pembenaran sering menjadi santapan tiap
harinya. Semakin canggih media informasi yang sedemikian rupa, semakin
membebeknya fitnah dan taqlid merajalela. Keawaman dalam berilmu agama namun tampil bersua,
mungkin ini adalah salah satu cerminan negri ini. Dimana Ilmu yang semakin mudah ditemukan di
lini masa. Namun, Semakin pula merosotnya adab dan ahlak. Sudahkah berijtihad
kah kita, dari keterbelakangan moral. Dan hanya mampu membebek bersua dalam
ketidak tahuan.?
Akal
sehat dan ketundukan diri dalam berilmu perlunya kita sadari. Peran ilmu bukan
mendampingi retorika atau kepandaian verbal. Namun aplikasi dari perbuatan
adalah garis terkhir dari sebuah ilmu. Jika ilmu hanya berkutik dalam ajaran
tanpa amalan. Bukankah ilmu menjadi sebuah retorika belaka. Tanpa membuahkan
pahala. Perdebatan yang sering terjadi tidak hanya cukup mencai antara pemenag
dan siapa yang kalah. Namun kebeanran yang perlu disadari adalah menggali diri
dari ketundukan ketidak tahuan. Dalam hikay syeh Siti jenaar berkata , “kebenaran
tidak harus di perdebatkan, kebenaran akan mewujud dirinya sendiri sebagaimana
bunga mawar yang harumnya menebar sendiri tanpa perlu diberitakan bahwa mawar
adalah bunga yang harum”
Wallahualam….
إرسال تعليق