Kasus Ahok di balik Perlindungan HAM


`foto, gambar Ahok
sumber Foto : Tribun News


Agama merupakan pedoman bagi kehidupan manusia, agama sebagai system kepercayaan yang mampu menjadikan seseorang berjalan diatas koridor kebenaran. Suatu system keperacyaan yang dapat memobilisasi terhadap pengaruh tingkah laku. Pengaruh demikian telah tergambar jelas umat muslim Indonesia ketika berhadapan dengan situasi sarut marut dugaan penistaan agama yang dilakukan tokoh politik. Terlihat begitu banyak antusias umat muslim dalam merespon kejadian yang mengakibatkan aksi umat islam yang dikenal dengan 114 dan aksi super damai 212. Nilai transendel menjadi begitu kuat, mengingat ada rasa eklusivisme pada diri umat muslim. Dengan demikian agama merupakan hal yang mempunyai sensifitas, dengan lahirnya agama sebagai sensifitas akan menimbulkan sikap eklusif serta keberanian dan tindakan untuk melawan ketidak susaian ajaran agama yang di percayainya.

Telah jelas bahwa kaum minoritas selalu berhadapan dengan kaum mayoritas, Hukum berhadapan dengan situasi politik, dan agama harus berlawanan dengan kesimpangan tingkah laku. Seringkali minoritas selalu mengalah lantaran kekuasaan legitimasi harus dipegang oleh mayoritas, Hukump un menjadi korban kekuatan politik serta agama yang melenceng dari dogma ajaranya. Indonesia kali ini menjadi sorotan perbincang public global, melihat Indonesia merupakan Negara Hukum harus berhadapan dengan situasi agama dan politik. Keberlawanan dau arah ini  menjadi situasi yang harus diselaraskan untuk menemukan titik temu. Negara yang terkenal dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika, keberagaman suku dan ras justru menimbulkan desas desus subuah pertanyaan. Apakah Negara Indonesia telah kehilangan jati dirinya sebagai Negara pancasila. Hal ini menjadi tantangan baru bagi kita mengahdapi realitas sosial yang dialami saat ini.

Hak asasi manusia adalah fitrah manusia yang mengikat dalam dirinya, kebebasan berindak tanpa memindahkan kebebasan orang lain sudah jauh hari menjadi perbincangan yang rumit, dalam sejaranya berkisar pada tahun 1215 di inggris yang ketika itu raja yang yang berkuasa absolut di batasi rakyatnya yang harus dimintai pertanggung jawabanya didepan majlis hukum. Munculan hukum pertanggung jawaban melalui undang, tapi kala itu masih dipegang oleng penguasanya. Persirakat bangsa bangsa atau PBB Hak asasi manusia sudah menjadi pedoman dasar atau perinsip umum di setiap Negara th 1948, hal ini terus bergulir menjadi suatu yang justru bertentangan dengan pedoman hidup bernegara.

Kasus penistaan agama dan HAM agaknya amatlah sulit itu diperbincangkan maslah kedun itu sebenarnya saling bertentangan, HAM merupakan kebesan seseorang dalam bertindak bersua , sedangkan penistaan agama adalah sesorang yang melakukan tindakan hukum yang akhirnya akan adanya keputusan hal tersebut merupakan tindakan hukum yang salah atau sebaliknya. Kasus yang dialami Basuki Thahta Purnama mantan bupati Bangka Belitung ini  merupakan perkara yang rumit, mengingat hal tersebut merupakan campur tangan pilkada yang demikian harus berhadapan dengan hukum. Kebersinambungan undang undang tentang penistaan agama dalam  undang Undang no 1/PNPS/1965 156a dalam KUHP tentang penodaan agama sebenarnya saat itu merupakan penanganan aliran-aliran kebatinan yang muncul pada decade tersebut. Keterkitan tentang kebebsan berpendapat kendati demikian, HAM yang seharusnya digunakan sebagai kebebesan bersua tanpa mengikat kebebsan orang lain ,rumitnya dalam perkara ini ialah ungkapan yang dilontarkan penduga yang memiliki multi tafsir, jika hal tersebut sebuah kesengajaan berucap penistaan jelas hal tersebut merupakan tindakan Hukum karena melanggar kebebasan orang lain dalam berkeyakinan. Namun hal tersebut tidaklah mengharuskan  sang terduga menjadi terdakawa, karana masih mengingat serius bahwa UU 156a tersebut tidak ada kaitanya, karena sang terduga tidak menyuruh sesorang untuk memindahkan keyakinan dalam beragama. Tidaklah salah kasus yang dialami ini pun sangat lah rumit untuk menentukan Hukum yang sifatnya objektif, karena kasus sedemikian rupa memang harus dilihat dari tiga unsur, unsur bahasa, pidana dan agama.

Hak Asasi Manusia dalam beragama merupakan hak pribadi yang harus dilindungi, adanya campur tangan pemerintah hanya sebatas mengayomi hak pribadi maupun kolektif. Jaminan perundang undangan dalam UUD 1945 pasal (1) menegaskan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, da nada jaminan Negara dalam pasal 29 ayat (2) UUD 1945 bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap tiap penduduk untuk memeluk agam masing- masing dan beribadat menurut kepercayaan masing masing. Dengan hal demikian Negara menjamin HAM telah dilindungi dengan tidak melakukan diskrimanatif terhadap agama lain. Kasus di kusus yang terjadi Indonesia lalu, aliran aliran agama yang meresahkan umat muslim, sebut saja ahmadiyah menjadi problem dalam berkeyakinan, pasalnya aliran ini tidak termasuk katagori agam yang diakui di Indonesia Yang meresahkan umat muslim untuk pindah berkeyakinan. Jaminan perlidungan Negara hanya sebatas perundang undang yang tidak ikut campr dalam berkeyakinan

HAM dalam kebebasan agama, politik dan hidup adalah kecenderungn manusia dalam memilih jalan hidupnya. Hak yang sudah melekat dalam diri setiap manusia seharusnya untuk kebebasan personality tanpa mengganggu kecenderungan melanggar hak orang lain. Meskipun hal tersebut tidak selalu dalam lingkup legal hukum. Yang perlu disadari dalam menjalankan hak kita warga Indonesia, dalam bertindak haruslah melihat situasi dan kondisi. Meskipun kasus yang dialami oleh ahok tidaklah melanggar hukum dengan ketidaksesuain UU yang berlaku, tapi etika dalam berbicara, berkehendak harsu menjadi wacana pemerintah. Hukum memang tidak mengaruskan pelaku untuk bersalah, tapi dalam hukum tersebut ada hak keberhikan pada diri terduga. Etika hukum dalam berucap dengan menyinggung agama lain kiranya perlu untuk ditegaskan dalam UU.

  

1 تعليقات

إرسال تعليق

أحدث أقدم