Peran Pendakwah Milenial dalam Kasus Evie Effendi


Ustad Evie Effendi saat  menuntun jamaahnya membaca Al-quran yang menuai kritik
Ustad Evie Effendi saat  menuntun jamaahnya membaca al-Quran yang menuai kritik
Sumber foto: Scranshoot Twetter


Belum lama ini terjadi, vidio viral Ustad Evie Effendi yang sedang memimpin bacaan al-Quran dengan para jamaahnya disalah satu masjid. Vidio tersebut kemudian menuai banyak reaksi oleh warga net khususnya twetter. Pasalnya, ustad tersebut tidak mampu membaca ayat suci al-Qur'an dengan baik dan benar, sepeti tidak mengerti' wakaf  atau tanda berhenti bacaan. Tidak hanya itu, kritik yang dilayangkan kepada ustad Effendi rasa-rasanya belum pantas menjadi pendakwah

Kritik atas ceramah yang di lakukan oleh ustad Effendy ini bukan pertama kalinya terjadi. Pada tahun 2018 kasus serupa atas penghinaan nabi Muhammad SAW yang menyatakan bahwa Rasulallah pernah tersesat yang kemudiam kasus tersebut tidak sampai pada meja hijau, dikarenakan sang penuntut mencabut laporanya. Kemudia Ust Effendi berjanji tidak akan mengulang kembali perbuatanya. Atas keprihatinan ini, kita melihat bahwa para pendakwah hari ini tidak harus memiliki otoritas tertentu untuk menjadi pendakwah

Kanal youtube dan sumber informasi tidak mempunyai akses jaring filter yang ketat. Dunia digital seperti youtube dan website telah memberikan banyak informasi seputar agama. Dengan itu, pendakwah tidak memiliki verifikasi sumber informasi yang dipertanggung jawabkan. Dilain sisi, ketertarikan orang pada hal yang instan menjadikan seseorang merasa puas atas pengetahuan informasi yang didapatnya. Seseoang yang belajar agama tidak perlu mempunyai disiplin ilmu agama yang kuat untuk menjadikan sumber yang akan disampaikanya. Asalkan mempunyai mental dan kemampuan komunikasi verbal yang matang dan pengetahuan agama. Masyarakat /pengikutnya bisa mengangkatnya dan menyebutnya sebagai ustad. Pasalnya, untuk menjadi Ustad tidak memiliki sertikasi khusus, melainkan pengakuan terhadap otoritas kepercayaan masyarakat setempat. Berbeda dengan title akademis yang memiliki sertifikasi ijazah sebagai bukti disiplin ilmu yang telah diraihnya. Hal ini dapat menguntungkan sekaligus mambahayakan bukan?
Agama yang dinilai memiliki otentik wilayah Ilahiyah tidak memberikan standar yang baku atas otoritas penyampainya. Motif menyampaian dakwah seringkali berdasar atas perintah yang diriwayatkan oleh Hadis Bukhori yang berbunyi " Sampaikanlah Ilmu yang dimiliki walau satu ayat". Spirit dan keagamaan yang muncul ini, memberikan payung atas perintah kewajiban berdakwah tanpa didasari oleh ilmu agama yang mumpuni.

Motif menyampaian dakwah seringkali berdasar atas perintah yang diriwayatkan oleh Hadis Bukhori yang berbunyi " Sampaikanlah Ilmu yang dimiliki walau satu ayat"

Peran dakwah milenial yang seringkali orang menyebutnya. mempunyai jaringan yang cukup kuat di media internet. Banyaknya pendakwah muda sering juga menjadi insprasi kaum muda yang sedang haus spritual. Komunitas dakwah muda seperti " Indonesia tanpa pacaran" mampu memobilisasi remaja untuk berhijrah. Hal demikian, disadari merupakan sprit positif dalam mengemban perintah agama. Namun seringkali semangat agama ini tanpa dasar diimbangi oleh ilmu agama yang kuat, seperti yang pernah saya singgung dalam tulisan saya berjudul "kampanye nikah muda 16 Tahun, Untuk siapa" adalah sederet problem semangat agama tanpa menyangkal jika kasus pernikahan muda adalah sederet problem naiknya angka kematian kehamilan dan tingkat perceraian di Indonesia.

Tanpa dipungkiri teknologi yang berkembang membuat pola interaksi berbeda. Peran pendakwah yang disinyalir merupakan anak muda ini dapat dimanfaatkan dengan baik dengan jejaring media yang terorganisir. Status seseorang diangkat berdasarkan pola like, subcribe, comment, bukan 

berdasarkan pola interkasi masyarakat setempat. Tidak salah, jika pendakwah miliniel ini mampu mendobrak akses anak muda yang lebih luas. Disisi lain, pendakwah yang notabane mempunyai ilmu agama yang baik tidak mampu menembus jaring komunikasi komunal melalui media. Dengan demikian otoritas keagamaan tidak bisa memfilter ilmu agama seseorang.

Penulis dalam hal ini tidak menyangkal bahwa peran pendakwah milenial merupakan hal yang salah. Melainkan masukan dan alternatif atas tanggung jawab dan otoritas keilmuan yang dimilikinya. Jika dirasa belum mampu atas ilmu agama, seharusnya menyadari dan mau membenah diri. Semangat spritual keagamaan memang harus dimiliki setiap orang. Atas dasar ini, antara semangat spritual keagamaan dan tanggung jawab otoritas keilmuan adalah dua hal yang bebeda.
Semangat spritual keagamaan memang harus dimiliki setiap orang. Atas dasar ini, antara semangat spritual keagamaan dan tanggung jawab otoritas keilmuan adalah dua hal yang bebeda.

Post a Comment

أحدث أقدم