Membandingkan Jogja dan kampung saat Pandemi


Illustrasi Lockdown saat pandemi dengan seorang anak memakai masker
Illustrasi by Pinterest / Modifikasi

Setelah beberapa hari dirumah saya jadi berfikir dan iseng menyamakan Jogja dengan rumah dimana saya tinggal, Jogja selalu memberikan kesan baik bagi saya. Covid-19 menjadi cerita pemanis tanpa tawar. Berbulan-bulan saya harus mendekam dan mengisolasi diri agar meminimalisir kegiatan diluar kostan. Covid-19 ini telah menghibahkan saya hebit baru berupa kesadaran kesehatan yang selama ini kita tidak perhatikan, ya ngak semua sih. Mula-mula saat gegap gempita jagat raya media maya dan televisi ramai dengan kedatangan mahluk tengil bernama coronal ini, masyarakat kita dibuat  kaget bukan kepalang. Sana-sini ngeggosipin covid yang tiada berujung, sampe-sampe saya mengalami moral panic. Apalagi saat itu saya sedang berada diperantauan. Beruntunglah  sudah empat tahun, jadi bisa beradaptasi dengan lingkungan dan kerabat sohib seperantauan.

Tiga bulan lebih bukan waktu yang singkat untuk membangun kebiasaan baru ini. Banyak protokol kesehatan yang saya rasa terus mengalami evolusi darwin yang muter, dari wajib memakai masker, handsanitazer, sosial distancing, PSBB hingga isu new normal yang digalakan dan kembali PSSB lagi dan lagi di Jakarta. Dengan jurus jitu, saya mengambil kesempatanbpeluang baik saat new normal digalakan. Kesempatan emas itu menjadi inisiatif untuk pulang ke kampung halaman, sekaligus maaf-maafan karena tidak pulang saat lebaran.huu

Saat melamun  diteras rumah saya merenung, bahwa kampung kediaman saya singgah sungguh kontras dengan kebiasaan baru saya di kota perantauan. Jogja memiliki peradaban masyarakat yang sadar protokol kesehatan kuat. Disetiap sudut dan gang pintu masuk kompleks disediakan sepanduk bertulisan "kampung ini di download Lockdown" dengan atribut lain yang mendukung, seperti banner besar yang bertuliskan edukasi penanganan Covid-19.Ditambah lagi masyarakat dan pemuda yang membuat jadwal piket bagi pendatang yang masuk kompleks. Kereatifitas masyarakatnya pun tidak usah dipertanyaakan lagi. Di daerah Turi, Sleman saja yang tergolong lumayan jauh dari kota, masyarakatnya mempunyai alat penyemprot otomatis gas inspektan saat motor dan kendaraan masuk, dicek suhu tubuh, wajib memakai masker, mencuci tangan sampai ditanya "Kowe arep endi?". Jika ndak  penting-penting amat ojo keluyuran. Kebiasaan tertib dan lockdown ala kearifan local membuat saya terkesima dengan kota gudeg ini. Tapi ya kadang kesel juga sih, beberapa oknum pemuda bahkan dijadikan ajang kumpul main gaplek kalo malam, disebagian tempat saja.

Kampung tempat kembali
Jogja tentu tidak usah disamakan dengan tempat kampong diman saya tinggal yang jauh dari intrik perkotaan dan pendidikan. Lingkungan tempat saya dibrojolkan harus tetap dibanggakan, kalo kata bapak saya "Sebaik-baiknya tempat dikota. pasti bakal kangen kampung juga".Sudah sewajarnya anak kampung seperti saya ini tidak melupakan tempat kelahiran. hmm. Saat di rumah, saya ingin membawa kebiasaan bagus saat di perantauan ke kampung. Katakanlah kebiasaan memakain masker yang menjadi fasion saya saat ini. Saya mengetahui bahwa kediaman kampung saya merupakan zona hijau. entah tidak ada yang melapor dan mengalami gejala, atau memang kampung saya dianugrahi kekuatan super ketahanan tubuh, sehingga belum ada yang dinyatakan positif di beberapa kecamatan. Semoga sih harapan yang ini bener. Meski, kita harus mewanti dan sedia payung sebelum basah. Abisnya masyarakat sama pemerintah juga sama-sama kagetan. Biasanya, pandemic virus ini dinggap ilusi kalo belum tampak dan terbukti ada korban meninggal dipelupuk mata. Hal ini persis seperti wajah pandangan orang dipedesaan saya. Bukan tanpa sebab, pandangan pedesaan ini sering kali kita pandang premitif dan terkesan kolot. Di desa kekuatan magis berupa optimisme bahkan lebih kuat ketimbang mahluk ala perkotaan. Kegiatan di kampung tidak mengerti apa itu social distancing, ODP (Orang tanpa geja) dan silrkulasi arti melangit lainya. Orang desa hanya mengerti " wes ada corona di Tv" dan terus menjalani aktivitas seperti normal tanpa embel new. Bahkan disini, liburan sekolah terkesan formalitas. kegiatan anak sekolah masih bisa keluyuran manjat pohon kemana saja. Jika dibandingkan dengan kesadaran desa yang sudah maju seperti di Jogja. tentu berbending terbalik. Alasan utama adalah budaya dan akses dimana masyarakat tinggal. Alasan ekternal ini lebih kuat ketimbang sosialisasi yang kurang nyentil terdengan di desa. Anggap aja ini desa saya aja.

Saatnya membangun optmisme
Optimisme yang dikembangkan di kampung saya merupakan optimisme tanpa dasar pengetahuan. Akses informasi yang saya singgung kurang meresap di setiap kepala rumah tangga. Problem ekternal berupa birokrasi pedesaan yang juga kurang melotot menjadi tambah beban optimis warga sekitar. Kebiasaan memakai masker yang saya gunakan ini, sebagai bentuk edukasi diri dan mempertegas identitas kaum pelajar dengan warga sekitar. Meskipun saya kadang geer, merasa diperhatikan saat melaksanakan kewajiban solat Jum’at misalnya, Karena memang jamaah tidak memakai atribut masker satupun. Aggapan-anggapan yang muncul saya rasa beragam. Saya memastikan anggapan ini antara baik dan buruk. Disisi lain, dasar optimisme masyarakat harus tetap ada, meski hanya sebuah keyakinan. Sedia payung sebelum hujan lebat tidak salah untuk dipraktikan kan?

Post a Comment

أحدث أقدم