komunikasi ini kita sebut sebagai gestur atau gaya politik.
Sosok atau personal merupakan elemen penting dalam tujuan politik. Para pendukung dalam hal ini rakyat dihipnotis untuk melaihat calon pemimpin. Gaya setiap calon pemimpin baik Pilkada mupun Pilpers bagian dari politik praktis dalam bentuk verbal. Serorang calon pemimpin baiknya harus mencerminkan dirinya sebagai orang yang pro rakyat, pekerja keras, tegas, dan bertanggung jawab. Sehingga komunikasi verbal ini mampu menjalin emosional para pendukung untuk memilihnya sebagai bakal calon, baik skala besar maupun tingkatan pemilihan seperti camat. Barangkali.
Gestur politik marah sudah dicontohkan oleh Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Dengan gestur ini, Ahok menjadi sosok yang dianggap tegas dan pemberani. Tentu hal tersebut menjadi menarik apa bila kemarahan tersebut dapat disiarkan di televisi. Dan publik mengambil persepsi yang beragam. Mungkin, hal ini tidak lepas juga dari kemungkinan politik, dalam kata lain memepertegas sosok dirinya.
Jokowi mengambil peran sosok marah dengan tetap menggunakan etika bicara yang sopan. Apapun namanya, ketika sedang rapat paripurna di Istana Negara dengan tema evaluasi pembahasan pandemin Covid-19. Ia menampilkan pribadi sebagai sosok yang tegas, dengan gimik wajah yang marah karena capaian mentri ekonomi, kesehatan, belum dianggap berhasil dan signifikan. Upaya-upaya ini, ia lupakan dengan menuntut kabinet supaya kerja keras dan mengeluarkan anggaran belanja negara yang semestinya harus dikelurkan.
Ditengah situasi pandami Covid-19 yang belum berakhir, ancaman tersebut menjadi tambah menarik karena selain mengambil pesan triatikal politik yang mengesankan juga mempertegas sosok Presiden Jokowi. Ditambah lagi, kemarahan ini disiarkan di kanal media pemerintah, youtube, dan menyebar ke media lainya. Persepsi publikpun beragam, namun dengan kemarahan ini setidaknya mampu menggambarkan sisi positif dan harapan yang lebih baik.
Barangkali ini adalah anggapan penulis saja dalam melihat sisi lain kemarahan Presiden Jokowi. Apapaun yang disampaikan seorang pemimpin kepada bawahanya harus mencerminkan sosok yang peduli dan tegas. Contoh dari gestur ini merupakan bagian dari komunikasi verbal memepertgas sosok diri. Namun adakalanya gestur dan gaya hanya menjadi lokomotif praktis dalam tujuan yang manis. Ditambah lagi akhir ini pemerintah mendapatkan kritik keras karena dinilai lamban dalam menangani pandemi, ditambah dengan pembahasan rancangan UU HIP (Haluan idiologi Pancasila) yang dirasa tidak tepat dalam situasi hari ini.
Dalam situasi yang cukup mendesak ini. Presiden Jokowi cukup wajar menyampakan kemarahanya, dan tak lebih lagi apakah ini merupakan luapan emosi alamiah yang bisa dipertanggung jawabkan, atau hanya sebagai gestur menutup kesalahan pemerintah. Hal demikian bisa saja salah maupun benar.
Apapun situasinya. Penampilan ini merupakan permainan gaya baru elit politik abad ini. Kesan dan persepsi publik merupakan hal yang dipoposikan sebagai hal krusial, padahal bukanlah subtansi. Melainkan angka-angka pujian yang tidak mendobrak akar permasalahahan. Jikapun kemarahan Jokowi merupakan tindakan almiah. Mungkin kita bisa saksikan, apakah ada perbaikan dan dobrakan setelahnya.
إرسال تعليق