Pluralisme dan Kebebasan Agama : Resensi Buku Jhohan Effendi




Dalam buku yang ditulis Djohan Effendi berjudul “Pluralisme dan Kebebasan beragama” Ia merupakan teolog humanis menurut saya bagaimana penulis mengungkapkan kegelisahanya terhadap fenomena keberagaman berkeyakinan yang justru menuai polemik keberlangsungan hidup yang tidak lagi sesuai dengan ajaran semua agama pada umumnya. Agama yang seharusnya menjunjung tinggi keadilan  dan perdamain  hanya  melahirkan kemunafikan dan kepura puraan. Nilai pluralisme yang ditawarkan justru menjadi sebuah pertikain dan perpecahan teologis kebenaran tunggal. 

Kaitan antara agama dan politik juga sangat mempengaruhi keberlangsungan hidup. Keragaman yang terdapat dalam kalangan umat islam tidak saja bersifat perbedaan akan tetapi juga tidak jarang bersifat pertentangan. Hal yang menonjol di Indonesia adalah masyarakat yang heterogen, perbedaan kultural, ras  agama  dan budaya yang tidak bisa dielakan lagi. Hal yang harus kita lihat adalah kesadaran kita terhadap pandangan pluralisme ini.


Secara garis besar, buku yang berjudul “Pluralisme dan Keragaman beragama” penulis tidak jauh-jauh mengkombinasikan tiga keterkaiatan Agama, Negara dan realitas sosial. Bagaimana hal tersebut saling bersinambungan antara satu dan lainya. Keterkaitan antara Negara Indonesia yang tidak lagi relevan dengan emapat pilar dasar bernegara. Dalam hal tersebut penulis mengkritisi bagaimana relevansi keadaan Indonesia yang sangat menanamkan nilai kedamaian telah luput dari genggaman filsafat kesatuan hidup. Nilai pancasila yang justru menjadi cerminan suatu pandangan hidup telah memudar dari pedomanya, Pencasila bukan lagi menjadi pandanagn hidup saling berdampingan menerima keberagaman, justru lamabat laun hanya sebagi menomuen yang dikenang. Keberagaman yang kini telah dipersatukan oleh pemisah sekte-sekte oraganisasi justru melahirkan ketidakfahaman yang menimbul kefanatikan agama dari setiap gologan.


Menurutnya Sikap toleransi antara keyakinan beragama masih bersifat inklusif, yaitu menolak kebenaran dan meyakini kebenaran tunggal. Nilai kehermonisan mulai terkikis ketika memaksakan keyakinan sendiri untuk diyakini kepada orang lain. Ini pun telah melanggar hak orang lain. Hal tersebut menurut penulis merupaka  ketidakmampuan rakyat untuk menangani konflik yang terjadi akibat pluralitas masyarakat. Dengan masyarakat yang begitu kompleks dan sering bertumpah tindih, sehingga satu insiden kecil pun bisa berkembang menjadi sebuah kerusuhan sosial. 

Masyarakat sudah terpuruk dalam kehidupan yang diliputi oleh suasana saling mencurigai. Hak asasi yang sudah melekat pada diri setiap orang sangat diperhatikan sebagai sebuah fitrah manusia. Nurkholis Majid berpandangan demikian, bahwa pluralisme keberagaman agama telah menjadi kebenaran tunggal, sifat membenarkan dan mudah  menyalahkan adalah suatu kesalah fahaman kelompok terhadap realita pluralitas tersebut. menurutnya kebenaran tunggal dalam beragama terletak kepada tuhanya. Karena agama yang dipandang lahir dari satu ibu kandung para nabi-nabi terdahulu, Agama yahudi, nasrani dan Kristen merupan titisan agama yang disempurnakan oleh islam.


Polemic keberagaman yang kini mejadi konflik kesenjangan masyarakat. Salah satu kesenjangan yang terjadi disebabkan para pendatang dan penduduk asal. Etos kaum pendatang biasanya lebih tinggi dibanding penduduk asli, hal tersebut dapat menimbulkan konflik kesenjangan antara agama dan juga budaya setempat, terutama ketika masa orde baru. Menurut penulis, jika ditelusuri lebih jauh konflik dari buku ini merupakan dampak negative proses modernisasi kita yang lebih menekankan pada sektor pembangunan. Sentralisasi kebijakan bangunan memperelemah potensi budaya local dan mengeliminasi kerarifan local dan pranata kultural yang bisa dilihat dari kepentingan jangka pendek yang cenderung tidak ekonomis. 

Gejala sentralisme ditambah dengan  uniformasi dalam pelaksanaan pemerintah telah “berjasa” dalam menghancurkan pranata-pranata local dan kultural di berbagai daerah nusantara kita. wisdom yang dapat diambil adalah bahwa bahaya akan mengancam umat beragama apabila mereka terjebak dalam formalisme dan simbolisme.  


Penulis lebih melihat kearah esensi nilai keharmonisan melalui cerita terdahulu yang dijadikan sebagai contoh- contoh simpati terhadap kalangan keperbedaan agama, menjunjung dimensi moral dan etnis yang berkaitan dengan hubungan pergaulan. Bagaimana fungsi Islam yang sesungguhnya akan cinta kedamain, keadilan,menyangi sasama manusia, Mengahrgai sesamanya. Islam dalam arti sebagai aktualisasi nilai nilai kesopanan bukan sebagai logo sentris. 

Penulis mengajak pembaca melihat sejarah dan tokoh bangsa yang memiliki  nilai integritas kesatuan yang bahkan menghormati sesama. Piagam Madinah adalah sebagian contoh kecil dalam melihat perbedaan dan menghormati antar suku dan perbedaan. 

Dalam hal ini, penulis beranjak dari teologi kebebasan beragama dalam menyikapi perbedaan. Dalam hal tersebut penulis juga memberi tanggapan akan relevansi dan implikasi dari keterkaitan moral dalam kehidupan kita sekarang. Penulis cukup lihai mengkombinasi dari setiap judul dengan menggunakan pendekatan abstraktsi pada sub setiap judul dan memberikan solusinya atas isi dari judul tersebut. Tapi nampaknya solusi yang diberikan masih cukup ambang karna masih melihat realitas sosial yang dinamis.

Realitas sosial yang dilihat dari sudut pandang penulis tampaknya sudah tidak bisa lagi untuk diluruskan kemabali, problematika sosila di Indonesian khususnya  hanya bisa dibangun dengan kesadaran bersama untuk membangun cita-cita bersama dengan menghargai sesama.

Ada rasa takut pada diri penulis tentang apa yang di cita-citakan kedepan nanti. Dan ada rasa keraguan untuk membangun kembali. Tampaknya penulis masih kurang konsisten dan belum berani mengkritisi konflik keberagaman tersebutut. Disisi lain penulis menyadari hal keberagaman merupakan hal yang mutlak dan merupakan anugrah tuhan. Heterogenitas tersebut adalah sesuatu yang bersifat alamiah (natural). 

Heterogenitas inilah yang harus dipertimbangkan umat Islam dalam berdakwah. Kesadaran tentang sifat heterogen masyarakat harus benar-benar ditumbuhkan oleh seluruh rakyat Indonesia. Implikasinya adalah lahirnya kesadaran pluralistik dalam masyarakat yang pada gilirannya akan melahirkan sikap toleran, saling menghargai antarsesama manusia, baik dalam persoalan beragama maupun bernegara.






Post a Comment

أحدث أقدم