Dikalangan intelektual muslim, nama Buya Syafii cukuplah terkenal. Beliau merupakan ketua umum PM Muhammadiyah tahun 1998-2005, Selain dikenal sebagai bapak negara yang seringkali berkunjung untuk menyampaikan seputar Islam dan keumatan. Beliau juga aktif menulis, wajar saja gagasan beliau masih banyak menjadi rujukan intelektual muslim, dosen, hingga pelajar lainya.
Buku "Menerobos Kemelut" ini diberikan teman saya bernama Raja Doli Ritonga. Saat saya beranjak pergi dari kota perantauan Jogja ke kampung halaman.Sebagi sahabat Saya sangat berterimakasih, semoga kebaikannya menjadi jalan menggapai ke ridhoan Allah SWT. amin.
Ketika berbicara keputusasaan, harusnya kita tetap optimis. Meskipun kemungkinan-kemungkinan problem sosial kenegaraan kita bisa diperbaiki. "Tidak ada api jika tidak ada bara" begitulah pepatah seringkali kita dengar. Tidak ada problem suatu negara, tanpa ada perangkat dan pelaku yang menciptakan. Dengan begitu, Buya Syafi'i sebagai pelaku sejarah telah merekam banyak jejak sejarah Indonesia dari mulai masa kelam, orde lama, otoritarianisme hingga hari ini yang dijadikan pelajaran. juga menjadi refleksi keumatan berbagsa dan negara, betapa problem sosial, politik, agama yang tidak pernah selesai.
Baca Juga: Eksistensi Manusia dalam Kaca Mata Peradaban Modern.
Sejarah bukan lagi rubik rubik yang terpisah. Melainkan benang-benang yang tersusun yang dapat dibaca alurnya dan garisnya. Dengan analisa yang cerdas, benang tersebut mampu diambil hikmah dan intisari pembelajaran. Buku yang telah saya baca, setidaknya mengambil jejak rekam di tahun 2000 hingga 2005 dalam tiga BAB pembahasan. Yaitu; Kontekstualisasi nilai-nilai agama dalam pembangunan. Topik dua: Pemilu 2004 sebagai Tonggak Baru Bangsa, Konsolidasi demokrasi dan politik untuk memperteguh dan kedaulatan bangsa. Dan topik terkahir. Mengakhiri imprialisme global, membangun perdamaian dunia.
Sekilas Review Buku "Menerobos Kemelut" : Buya Syafi'i Maarif
Peradaban umat manusia tidak lagi ditandai dengan lahirnya jati diri manusia yang baru yang menjujung nilai kemanusiaan dan nilai agama. Tantangan perkembangan teknologi dan peradaban yang muncul berakibat pada merubahnya disorientasi pada nilai luhur agama. Buya Syafi"i menyebut. Manusia tidak selamanya menjadi mahluk sosial. bahkan manusia mampu merobohkan peradaban mulai dari yang terkecil, lingkungan dan keluarga. Manusia telah didorong oleh syahwat. Keserakahan ini, berimplikasi pada meningkatnya diskriminasi, ketidak adilan, problem sosial dilingkungan masyarakat.
Manusia tidak seperti semut dan lebah meski tidak dihiasi oleh peradaban canggih, lebah dan semut hidup tenang tanpa membunuh sebangsanya. Rusel dalam buku "Has Man a fiture" telah menulis tentang perbandingan manusia, semut dan lebah. Buya Syafi'i menuturkan bahwa, peradaban canggih dan futuristik mengalami perkembangan berfikir yang cepat, namun tidak sejalan secepat perubahan teknik. Hal tersebut berimplikasi pada keterampilan yang meningkat tanpa dihiasi dengan kearifan.
Peradaban canggih dan futuristik mengalami perkembangan berfikir yang cepat, namun tidak sejalan secepat perubahan teknik. hal tersebut berimplikasi, pada keterampilan yang meningkat tanpa dihiasi dengan kearifan.
Sejarah mencatat, umat Islam mengalami perpecahan, baik manhaj (golongan) sadari dahulu yang banyak mengalami pertumpahan darah dan otoritas pemahaman agama yang berbeda, karena perkembangan tafsir yang berbeda pada setiap waktu dan tempat. Dilain itu, Islam saat ini dinilai telah terbelah oleh entitas politik yang dapat dipermainkan oleh negara lain. Arab Saudi dan belahan negara Islam lain tidak bersatu dalam kesatuan yang utuh sebagai kekuatan. Dan kekuatan Islam ada juga pada pemeluknya. Tanpa disadari bahwa Islam hadir tidak sebagai nilai yang di jewantahkan dalam hidup dan cara padang. Kekuatan arus globalisasi yang terjadi mampu hingga kini justri dapat menggelapkan mata dan hati umat Islam.
Buku ini juga mengkritisi banyak hal selain perkembangan seputar Islam dan keumatan. Seperti demokrasi Indonesia. Dimata tokoh negarawan, pengaplikasian demokrasi yang adil dan menjujung kemanusiaan tidak benar-benar hadir sebagai nafas nilai demokrasi. Demokrasi kita yang sejak tahun 1998 paska reformasi dibangun hanya seputar regulasi dan formalitas di tangan pemangku kebijakan. Kita juga melihat, kasus nepotisme dan korupsi yang menjadi musuh telah mengakar dan membudaya di jumlah kalangan birokrasi pemerintahan yang justru dapat menodai nilai demokrasi. Demokrasi dipelintir dan diterjemahkan semaunya dan fungsi rakyat hanya sebagai partisipan dalam pemilihan pemilu selama ini. Nyatanya, kegiatan money politic dan kekuasaan dinasti masih menancap dibeberapa sektor kepala daerah. Akibatnya, demokrasi hanya sebuah sistem yang ideal pada praktiknya justru menerapkan sistem otoritarianisme.
Kehidupan penjabat pemerintahan tidak memberikan tauladan baik bagi rakyat. Sepeeti gaya hidup mewah yang berlebihan, berfoya-foya, sedangkan rakyat sedang melarat. Hidup mewah dan sifat rakus ini sebagai cerminan dari penjabat yang mementingkan perut. Dan jabatan juga di orientasikan untuk memperkaya diri, kelompok dan kecintaan duniawi. Hal itu terjadi akibat struktur birokrasi buruk yang dipertahankan tanpa keinsyafan dan kesadaran kolektif di tubuh penjabat. Atas hal itu kepetingan rakyat, keadilan kesejahteraan tidak akan terwujud.
Di buku ini Buya Syafi'i mengajak kita merenung tentang diri kita yang sering munafik atas penderitaan yang sering kita lihat di sekeliling hidup kita. Kesadaran kita untuk memperbaiki tatanan sosial di skala kecil saja, kita terkadang menutup mata, karena disadari oleh disorientasi manusia yang hanya mementingkan duniawi. Buya Syafi'i juga seringkali bertemu dengan tokoh penting di negara lain dan menuliskannya di buku ini .Seperti pertemuan Alfin Toffler seorang penulis Amerika yang bertanya tentang Islam. Dari mulai kritik atas institusi pemerintahan, demokrasi pemilu 2004 hingga perdamaian dunia.
Buku yang berjumlah 350 halaman memberikan pelajaran yang berharga pada setiap pembaca, terutama atas kritik sosial kenegaraan kita. Namun dibalik kritis dan rasa tidak percaya diri atas merubahnya problem multikultural kebangsaan ini, Penulis mengajak diri untuk berfikir optimis. Jika suatu saat negeri ini akan bangkit dan mampu membenahi dirinya.
Mantabbb Kanda
ردحذفإرسال تعليق