Tinjauan Kebijakan Export Restriction Baru Sebagai Bentuk Mitigasi Dampak Disrupsi Perdagangan Internasional Masa Pandemi COVID-19

Hukum dagang

  • Kebijakan export restriction baru sebagai bentuk mitigasi dampak

disrupsi perdagangan internasional dalam masa pandemi COVID-19 di Indonesia selama periode 2019 hingga 2020 memang merupakan tahun yang cukup berat bagi seluruh negara di dunia. COVID-19 telah berkembang menjadi sebuah isu yang tidak lepas dari sorotan pemerintah, media, hingga komunitas global.


COVID-19 kerap menjadi pusat pemikiran dan perdebatan dalam diskusi keseharian masyarakat hingga pimpinan negara bahkan dunia, akibat konsekuensinya yang mengubah kondisi, tatanan.


dan cara hidup masyarakat global secara drastis dan mendadak. Maka dari itu, tiap negara di dunia terutama negara berkembang seperti Indonesia melakukan restrukturisasi darurat terhadap kebijakan negaranya untuk menghadapi kondisi pandemi tersebut, terutama di sektor yang cukup vitalmempengaruhi perekonomian negara seperti perdagangan internasional.


Kondisi negara selama pandemi COVID-19 tersebut memaksa pemerintah Indonesia untuk meningkatkan standar keamanan nasional dan mengadopsi sejumlah kebijakan baru. 


Pada masa awal pandemi, kebijakan ini dimulai dengan menerapkan mekanisme lockdown, seperti dengan menutup bisnis, melarang bepergian, menerapkan physical/social distancing, hingga memberlakukan export restriction secara darurat terhadap arus ekspor impor negara terutama China yang menjadi episentrum utama penyebaran virus tersebut.


Mengingat China merupakan mitra dagang utama Indonesia. Aturan-aturan  memang disinyalir mayoritas dikarenakan untuk menjamin bahwa seluruh pihak yang terlibat dalam rantai pasok makanan global, mulai dari proses produksi, distribusi, hingga konsumsi memenuhi standar jaminan perlindungan terhadap virus COVID-19 tersebut.


Secara prinsipal dilihat dari unsur regulasi terhadap kebijakan export restriction tersebut menurut General Agreement on Trade and Tarif (GATT) 1994 yang diatur oleh World Trade Organization (WTO) Artikel XI:1, negara anggota dilarang untuk memperkenalkan atau mempertahankan segala bentuk larangan atau pembatasan ekspor selain bea cukai, pajak, atau biaya lainnya. 


Namun hal tersebut terdapat pengecualiannya seperti yang tercantum dalam GATT Artikel XI:2 (a), negara pengekspor diperbolehkan untuk melakukan larangan atau pembatasan ekspor secara sementara, demi mencegah atau meredakan kondisi kekurangan persediaan bahan makanan atau produk lainnya yang krusial.


Sehingga dengan terjadinya pandemi virus COVID-19 tersebut dapat di kategorikan sebagai kondisi darurat negara yang menyebabkan berkurangnya secara drastis bahan pangan dan alat kesehatan mengingat Indonesia masih cukup bergantung pada impor terhadap barang-barang tersebut. 


Adapun WTO juga mensyaratkan anggota negara untuk tetap mempertimbangkan efeknya terhadap keamanan pangan bagi negara pengimpor.


Terhadap pemberlakuan kebijakan export restriction yang bersifat darurat tersebut jelas akan menimbulkan problematika disisi kajian yang lain. Hal ini terkait dengan laju dan kondisi perekonomian negara yang memberlakukan. Mengingat Kegiatan ekspor terbesar di dunia dipegang oleh China. 


Negara yang sering melakukan impor dari kegiatan ekspor yang dilakukan oleh China salah satunya adalah Indonesia. Selain itu, China juga adalah salah satu mitra dagang terbesar yang dimiliki oleh Indonesia. 


Munculnya COVID-19 yang menjangkit China membawa kegiatan dagang China ke arah yang negatif sehingga berdampak pada alur dan sistem perdagangan dunia sehingga berdampak juga pada Indonesia. 


Menurunnya kelapa sawit dan batu bara serta impor bahan mentah lainnya dari China akan menyerang kegiatan ekspor di Indonesia sehingga akan menimbulkan turunnya harga barang tambang dan komoditas lain.


Berdasarkan data yang dirilis oleh World Trade Organization (WHO), per 22 April 2020, 80 negara telah melaporkan implementasi 92 jenis larangan atau pembatasan ekspor di negaranya masing-masing, di mana 17 negara di antaranya juga melakukan pembatasan ekspor terhadap bahan pangan.


Beberapa negara tersebut merupakan eksportir dan produsen bahan pangan yang sangat penting seperti gandum dan beras. Selain itu produk bahan-bahan pokok lain juga ikut terkena imbasnya. Akibatnya memang sangat krusial dimana menurunnya pasokan bahan pangan domestik negara.


Memang jika dikaji melalui teori kepentingan negara pemberlakuan kebijakan export restriction yang bersifat darurat tersebut sejalan dengan kepentingan negara untuk menghadapi problematika pandemi COVID-19 tersebut yang akan menjadi ancaman bagi suatu negara yang terjangkit. 


Hal ini bisa dikategorikan sebagai kondisi darurat suatu negara. Berdasarkan pendapat dari Hans J. Morgenthau dalam bukunya yang berjudul Politics Among Nations. Menurut Morgenthau, kepentingan nasional merupakan kondisi permanen yang memberi para pembuat kebijakan petunjuk rasional dalam menjalankan tugasnya. 


Selain itu, Morgenthau juga mengatakan bahwa konsep kepentingan nasional adalah cerminan dari keputusan yang diambil oleh negara, sehingga konsep kepentingan nasional akan memberi pengaruh besar dalam pembuatan dan implementasi strategi suatu negara. 


Oleh sebab itu, analisis terhadap kepentingan nasional dapat menjelaskan perilaku suatu negara dalam dunia internasional.


Terkait dengan kebijakan export restriction tersebut juga selaras dengan pendapat Morgenthau dimana ada dua faktor yang mendasari konsep kepentingan nasional. Faktor pertama adalah permintaan atau kebutuhan rasional.


Sedangkan faktor kedua adalah kepentingan nasional yang bergantung pada situasi. Alasan pembagian ini dilakukan adalah sebagai subjek politik utama, negara tidak luput dari perubahan zaman. 


Hal ini membuat hubungan antara kepentingan dan negara bersifat dinamis dan selalu menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi dalam dunia internasional.


Kebijakan export restriction tersebut merupakan sebuah tindakan proteksionisme perdagangan oleh suatu negara melindungi ekonomi dan sistem kesehatan mereka dari kerusakan akibat pandemi. 


Menurut Associate Peneliti Ekonomi, Muhammad Zulfikar Rakhmat, dari Indef, ia memperkirakan pandemi COVID-19 yang melanda seluruh dunia ini akan membawa dunia kembali ke era proteksionisme.


Secara garis penerapan export restriction sebagai bentuk tindakan proteksionisme perdagangan di era pandemi ini termasuk ke dalam kategori incidental protectionism oleh Philip I Levy di mana Secara kebijakan, bentuk proteksionisme ini tidak terlihat secara eksplisit mendiskriminasi produk luar negeri atas produk yang berasal dari produsen domestik. 


Hal ini dapat dilakukan dengan menerapkan ketetapan-ketetapan yang memiliki legitimasi kuat sebagai persyaratan atas produk luar yang akan masuk ke pasar domestik. Proteksionisme jenis ini bekerja secara tidak langsung dengan memasukkan unsur non-perdagangan ke dalam persyaratan impor produk seperti penerapan standar kesehatan dan keamanan.


Memang benar disatu sisi berdasarkan teori kepentingan negara dari Morgenthau, diperlakukannya kebijakan export restriction terutama di sektor perdagangan terhadap bahan pangan merupakan tanggungjawab negara untuk memberikan perlindungan bagi warga negaranya.


Baik dari segi ekonomi maupun sosial. Ada dua faktor yang mendasari kepentingan nasional selama pandemi COVID-19. Pertama, permintaan atau kebutuhan rasional dimana persebaran virus yang cepat dan vaksin yang belum ditemukan menuntut negara untuk melakukan manajemen krisis dengan cara yang dianggap paling efektif dalam mencegah virus COVID-19 menyebar di wilayah mereka.


 Faktor kedua adalah kepentingan nasional yang bergantung pada situasi. Sehingga dapat dikatakan berdasarkan indikator Economic Well-Being salah satu bentuk bentuk tanggung jawab negara terhadap warganya adalah dengan menciptakan kesejahteraan ekonomi nasional, sehingga negara akan melakukan segala cara demi melindungi keberlangsungan sektor ekonomi. Export Restriction tersebut juga diberlakukan terhadap alat-alat kesehatan. 


Akan tetapi jika dilihat dari kondisi Indonesia mungkin akan lebih tepat jika hal tersebut diambil dari aspek impor dimana negara kita terkait pasokan alat-alat medis mayoritas masih mengandalkan impor dari negara lain. 


Dikarenakan negara lain juga menerapkan export restriction atas alat-alat medis dimana Indonesia merupakan salah satu negara pengimpor maka hal tersebut juga sangat berdampak bagi pasokan alat medis di Indonesia.


 Aktivitas larangan atau pembatasan ekspor adalah bentuk upaya negara dalam melindungi kepentingan nasional mereka, yaitu memastikan bahwa pasokan masker dan alat kesehatan untuk negara mereka tercukupi selama pandemi.


Permberlakuan kebijakan tersebut juga menghasilkan kondisi yang sama dalam kegiatan ekspor impor di sektor perdagangan bahan pangan terutama bahan pokok. 


Bagi negara eksportir, salah satu tujuan utama dalam melakukan pembatasan ekspor adalah memastikan bahwa negara memiliki persediaan pangan yang cukup, terutama selama masa pandemi. Pandemi COVID-19 telah mengakibatkan adanya penurunan produktivitas dalam rantai pasokan makanan. 


Kewajiban untuk mengikuti prosedur social distancing dan protokol kesehatan lain menuntut pekerja untuk menjaga jarak, sehingga secara otomatis jumlah pekerja yang diperbolehkan dalam satu ruangan mengalami penurunan. 


Akibatnya, sumber makanan yang melibatkan banyak pihak dalam proses pengolahan tidak dapat menghasilkan secara maksimal..


Oleh sebab itu, bahan-bahan ini diprediksi dapat mengalami kekurangan stok akibat pandemi COVID-19.19 Maka, pembatasan atau larangan ekspor menjadi salah satu strategi pemerintah dalam menjaga jumlah pasokan makanan nasional.


Memang pemberlakuan kebijakan export restriction tersebut akan memberikan ruang ruang bagi anggota untuk memberlakukan pembatasan atau larangan bahan makanan selama bahan makanan tersebut dianggap “krusial” dan “rawan kelangkaan”.


Memang juga terkesan pemberlakuan kebijakan tersebut terkesan menunjukkan sikap diskriminatif secara implisit.


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama